Pernah suatu hari saya merasakan kesedihan yang sangat karena suatu
masalah. Namun selang tiga menit kemudian, kesedihan itu berganti dengan
euphoria, rasa gembira yang luar biasa. Saya tidak tahu penyebab
pergantian mood yang sangat drastis ini. Padahal saat itu saya tidak
mengkonsumsi narkoba ataupun psikotropika jenis stimulant. Saya juga
tidak menusuk titik akupunktur tertentu untuk merangsang pengeluaran
endorphin dari otak saya, supaya saya jadi bahagia. Juga tidak makan
suatu zat gizi tertentu. Saat euphoria melanda, saya merasa mungkin
itulah sensasi yang diinginkan oleh para pencandu narkoba agar bisa
keluar dari kenyataan pahit yang sedang mereka hadapi.
Sekedar sedikit info mengenai para pencandu narkoba.
Ternyata, untuk mendapatkan sensasi euphoria yang hanya berdurasi 1
hingga 5 jam, para pencandu rela merusak dirinya diperbudak narkoba.
Bayangkan setelah 8-12 jam tidak mendapatkan pasokan, tubuh sang pecandu
akan mengalami withdrawal symptoms atau gejala putus obat.
Salah satunya berupa rasa sakit pada seluruh tubuhnya. Keadaan ini akan
terjadi terus menerus, sehingga tubuh pencandu akan mengalami toleransi.
Itu berarti dosis obat yang diasup harus selalu ditingkatkan untuk
mendapatkan efek yang sama. Hal ini tentu saja sangat merugikan dan
membahayakan.
Para pencandu juga memberikan tekanan batin bagi keluarganya.
Bagaimana tidak, selain rongrongan uang untuk membeli narkoba, biaya
pengobatan dan rehabilitasi pun tidak kalah beratnya. Untuk program
detoksifikasi dengan menggunakan pengobatan konvensional yaitu dengan
pemberian antagonis heroin seperti naloxon yang sebelum krisis harganya
25 ribu rupiah/ampul, naik bertahap hingga 135 ribu tahun 2000. Jika
setiap hari pengobatan membutuhkan 4-5 ampul dalam waktu minimal 1
minggu, maka bisa dihitung berapa rupiah yang harus dikeluarkan. Belum
lagi biaya rehabilitasi. Di Jakarta panti rehabilitasi mematok harga 3
juta perbulan dalam waktu minimal 6 bulan.
Para pencandu juga meresahkan masyarakat, karena pencandu dapat memicu tindakan kriminal dan menyebarkan penyakit tertentu.
Junkie yang artinya pencandu, mungkin berasal dari kata junky yang
artinya bermutu rendah, atau junk berarti barang rongsokan. Kata slang
ini mungkin diambil karena ada kaitannya dengan para pencandu yang
dianggap sebagai orang-orang yang tidak memiliki masa depan, tidak
berguna dan pembuat keresahan di masyarakat. Tapi tahu kah teman, bisa
jadi narkoba yang sangat kejam ini masih kalah berat dosanya dengan dosa
lain yang kita sendiri, “para orang bersih”, sering melakukannya.
Cerita almarhum mantan pemadat, Ustadz Gito Rollis, bisa dijadikan bahan
renungan bagi kita.
Dalam sebuah wawancara dengan sebuah radio, sang ustadz pernah
bercerita tentang awal titik balik kehidupannya. Sebelum titik balik
itu, ia sering iri melihat orang bisa gembira hanya dengan pergi ke
masjid. “Dengan modal kain saja mereka bisa bahagia, sedangkan saya
harus mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan kebahagiaan dengan
mengkonsumsi narkoba,” demikian suara batinnya.
Pernah setelah overdosis ia mengalami mati suri. Dalam keadaan mati
suri itu seakan-akan sang ustadz melihat dosa-dosanya sedang berjejer
menantikan pertanggungjawaban akhirat. Tapi anehnya narkoba yang membuat
dirinya rusak tidak berada di barisan terdepan. Barisan terdepan
ditempati oleh dosa yang dilakukan oleh mulut. Kejadian inilah yang
menjadi awal titik balik kehidupan sang mantan roker ini.
Seperti disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqoroh ayat 191, bahwa
fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, maka bukan berarti
narkoba dan pembunuhan adalah sesuatu yang diijinkan agama kita. Tapi
marilah kita buat daftar kejahatan apa yang dilakukan dari organ yang
tidak bertulang ini.
Berbicara kasar. Sering terjadi antara orangtua terhadap
anak-anaknya, ataupun sebaliknya. Antara suami terhadap istri, atau
sebaliknya. Antara supir angkot dan supir mobil preman, atau sebaliknya.
Antara guru atau dosen terhadap muridnya, atau sebaliknya. Juga antar
teman. Padahal "Kullu kalam addua", setiap perkataan itu adalah
merupakan do’a. Dan juga ucapan yang kasar akan susah sekali sembuhnya.
Lidah lebih tajam dari pedang. Allah berfirman di dalam surah Al-Baqarah
ayat 83, “Janganlah kamu menyembah melainkan Allah, dan berbuat baiklah
kepada kedua ibu bapa, dan kaum kerabat, dan anak-anak yatim, serta
orang-orang miskin; dan katakanlah kepada sesama manusia
perkataan-perkataan yang baik; dan dirikanlah solat serta berilah
zakat.”
Abu Hurairah melaporkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Janganlah
kamu berbicara dengan ucapan yang buruk, janganlah kamu sindir
menyindir, janganlah kamu memperdengarkan kabar orang lain dan janganlah
sebahagian kamu menjual atas jualan sebahagian yang lain. Jadilah kamu
hamba-hamba Allah yang bersaudara.”
Gosip. Ini sering kita lakukan, baik disengaja maupun tidak
disengaja. Contohnya mahasiswa atau murid yang tidak suka terhadap
dosennya cenderung asik ketika membicarakan kejelekannya. Apalagi bila
gosip dilaksanakan secara berjamaah. Tanpa disadari sebenarnya saat
bergosip itu, seakan-akan para pelaku gosip berjamaah itu sedang memakan
daging jenazah orang yang sedang digosipkan. “Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian
prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang
lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)
Bohong. Pekerjaan ini sering dilakukan oleh mulut kita dengan
berbagai macam alasan, seperti alasan keamanan, tipu menipu dan becanda.
Janji. Sering sekali mulut ini mengumbar janji. Sementara sang
penerima janji menanti-nanti akan pelaksanaan setiap ucapan kita yang
mengandung janji tersebut.
Fitnah. Inilah contoh yang paling nyata dari bahaya mulut. Irak
diserbu Amerika dan sekutunya tidak lain karena akibat fitnah Amerika
untuk mencari alasan menangkap Sadam Hussein yang kelewat dipuja
rakyatnya. Hingga Amerika kemudian memfitnah bahwa Irak punya senjata
pemusnah masal. Padahal kenyataannya tidak ditemukan senjata tersebut
hingga saat ini. Akibat fitnahan itu banyak anak kehilangan orang tua
dan orang yang dicintai. Banyak perempuan hidup menjanda akibat suami
tewas akibat perang. Orang mati sia-sia dan saling bunuh hampir setiap
hari terjadi. Keadaan yang memilukan terjadi di mana-mana akibat perang.
Masih kata Ustadz Gito Rollis, bila kita berbuat dosa terhadap Allah,
lalu kita bertobat dengan sesungguhnya, maka Allah yang Maha Pengampun
pasti akan mengampuni dosa kita. Tapi susahnya bila kita bersalah pada
manusia karena semua kejahatan mulut kita akan diampuni Allah setelah
orang yang menjadi objek kejahatan mulut kita memaafkan kita. Tapi kata
maaf kadang tak semudah membalikkan tangan. Untuk itulah kita memang
harus berhati-hati dengan mulut kita.
daftar isi
recent Post
Senin, 31 Oktober 2011
Ketika Mulut Lebih Kejam dari Narkoba
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar